Ironi Pendidikan di Ujung Pulau: Guru SMKN Tabuan Hidup dari Honor Rp150 Ribu
RayaPost.com— Tanggamus, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Provinsi Lampung, Thomas Amirico, boleh jadi sudah terbiasa melakukan roadshow ke sekolah-sekolah negeri di kabupaten dan kota. Namun, kunjungan ke SMKN Pulau Tabuan, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus, Jumat (12/9/2025), meninggalkan catatan pahit yang tak mudah dilupakan.
Sekolah yang baru berdiri sejak Juli 2024 itu menyimpan ironi. Dari 11 tenaga pengajar, hanya kepala sekolah, M. Ruzabari, yang berstatus PNS. Sepuluh guru lain adalah honorer. Lebih memprihatinkan lagi, satu di antaranya bahkan belum tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) karena terkendala sinyal.
“Hanya saya yang PNS. Honor guru kami antara Rp100 ribu sampai Rp150 ribu per bulan,” ujar Ruzabari, blak-blakan.
Thomas Amirico terdiam. Dahinya berkerut, matanya menatap para pendidik yang duduk berjejer di hadapannya. Senyum kecut yang sempat ia ukir jelas bukan ekspresi bangga, melainkan keprihatinan.
BOS Tak Pernah Turun
Kondisi SMKN Pulau Tabuan semakin pelik karena hingga kini belum sekalipun menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal sekolah ini menampung 50 siswa, dengan gedung yang baru diresmikan.
“Untuk biaya listrik dan operasional lain, selama ini murni swadaya masyarakat. Bahkan beberapa kali dibantu oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Sedangkan honor guru Juli sampai September dibayar oleh Kepala Cabang Dinas,” jelas Ruzabari.
Dengan status sebagai sekolah negeri di kawasan 3T (terluar, terjauh, tertinggal), mestinya SMKN Pulau Tabuan menjadi prioritas dalam distribusi anggaran pendidikan. Fakta di lapangan justru menyingkap celah kebijakan yang abai.
Upaya Tambal Sulam
Menyaksikan kondisi itu, Thomas Amirico berjanji akan memperjuangkan agar guru-guru honorer SMKN Pulau Tabuan bisa masuk ke program Lampung Mengajar. Lewat skema itu, para guru bisa memperoleh tambahan insentif.
Namun, janji itu terasa seperti tambal sulam. Sebab, masalah utama justru pada ketiadaan BOS—sumber dana vital bagi operasional sekolah negeri. Tanpa kepastian anggaran, pendidikan di pulau terluar ini akan terus bergantung pada kemurahan hati pihak luar.
“Harus ada kolaborasi dari SD sampai SMP satu atap di Pulau Tabuan. Jangan sampai anak-anak putus sekolah. Lulusan SMP harus kita fasilitasi agar bisa lanjut ke SMKN,” kata Thomas.
Asa dari Pulau Terluar
Kepada siswa-siswi, Thomas berusaha menyemai optimisme. Ia mendorong mereka bercita-cita tinggi, entah melanjutkan ke perguruan tinggi maupun sekolah kedinasan. “Dari Pulau Tabuan harus lahir anak-anak yang sukses,” ujarnya.
Namun, motivasi semacam itu hanya akan tinggal jargon bila kesenjangan anggaran dan ketidakadilan distribusi tenaga pendidik tak segera diatasi. SMKN Pulau Tabuan hanyalah satu contoh kecil bagaimana wajah pendidikan di daerah 3T kerap dibiarkan berjalan dengan nafas swadaya.
Di balik senyum kecut seorang Kadisdikbud, tersimpan pesan yang lebih keras: negara belum sepenuhnya hadir di ruang-ruang kelas Pulau Tabuan.
