Ketika BNNP Gagap Digeruduk Massa
Rayapost.com-Bandar Lampung-Aliansi Anti Narkoba Lampung kembali mendatangi kantor Badan Narkotika Nasional (BNN) Lampung pada Selasa 16 September 2025, dengan diikuti ratusan massa yang geram terkait penanganan kasus penggerebekan pesta narkoba di karaoke Astronom Hotel Mercurie pada 28 Agustus 2025 lalu.Sebelumnya, Aliansi Anti Narkoba Lampung telah menunjukkan itikad baiknya, memilih berdialog langsung dengan BNNP Lampung yang hanya diikuti perwakilan dari berbagai Ormas, LSM dan praktisi hukum, bukan melakukan unjuk rasa. Namun itikad baik tersebut tidak direspon pihak BNNP Lampung secara baik, bahkan kehadiran Aliansi Anti Narkoba Lampung terkesan dilihat sebelah mata, hanya sebatas berjanji akan melaporkan tuntutan kepada pimpinan.Entah kapan tuntutan tersebut akan dilaporkan kepada pimpinan, karena nyatanya saat unjukrasa Selasa, 16 September 2025 BNNP Lampung masih memberikan jawaban yang sama, yakni akan melaporkan kepada pimpinan. Publikmenilai keputusan BNNP Lampung merehabilitasi dan rawat jalan bagi 10 pelaku, termasuk 5 orang diantaranya pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lampung,penuh dengan kejanggalan dan diskriminasi serta berpotensi menyalahi prosedur dan hukum yang berlaku. Hal yang wajar jika publik menilai bahwa BNNP Lampung telah melecehkan masyarakat yang menuntut agar pelaku narkoba ditangkap kembali dan di proses sesuai hukum yang berlaku. BNNP Lampung terkesan tidak serius dan lebih suka berjanji tanpa tindakan nyata. BNNP Lampung tidak memiliki komitmen yang kuat dalam memberantas narkoba dan lebih suka mempertahankan status quo. Padahal, para akademisi hukum sudah ikut angkat bicara, seperti Guru Besar Profesor Hamzah dari Universitas Lampung yang menyebut bahwa langkah BNNP Lampung keliru secara hukum. BNNP salah kaprah menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 menjadi dasar. Padahal, SEMA itu ditujukan untuk para hakim Pengadilan dalam menjatuhkankeputusan, bukan untuk penyidik. Apalagi SEMA jelas mengatur batas rehabilitasi pengguna ekstasi hanya satu butir. Jika lebih, maka tetap harus diproses di Pengadilan agar hakim yang memutuskan, apakah direhabilitasi atau dipenjarakan. BNNP Lampung tidak boleh menghapus begitu saja, karena hitungan barang bukti bukan hanya yang ditemukan, tapi juga yang sudah dikonsumsi. Dalam kasus ini, para pelaku telah mengaku membeli 20 butir, walaupun yang tersisa tinggal 7 butir. Semua yang digerebek pun positif narkoba setelah bersama-sama mengonsumsi 13 butir. Artinya, bukti sudah lebih dari cukup untuk diteruskan ke meja hijau. Kritik serupa juga disampaikan Dr. Yusdianto, akademisi Universitas Lampung yang menilai penanganan kasus ini tidak transparan dan sarat diskriminasi. Asesmen dilakukan tertutup dan penindakannya hanya sensasi sehingga publik kehilangan kepercayaan. Menurutnya, hal yang lebihpenting dari sekedar menangkap pengguna narkoba adalah menelusuri rantai distribusi narkoba dan menangkap pemasok utama. Kasus ini bukan sekadar salah prosedur, tapi menyangkut integritas penegakan hukum, khususnya BNNP Lampung. Maka wajar jika publik mendesak agar Kepolisian Daerah (Polda) Lampung mengambil alih penyelidikan, bukan hanya untuk memastikan kebenaran adanya dugaan suap, tetapi juga demi menjaga nama baik institusi Polri. Polisi memiliki kewenangan lebih luas untuk menyelidiki, apakah para pelaku benar-benar hanya korban, atau justru pengedar. Dalam konteks ini polisi dapat melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan transparan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam kasus narkoba ditindak secara adil, tanpa membedakan latar belakang atau status sosial. Siapapun mereka, bila dalam mengonsumsi ekstasi dilakukan secara sengaja (seperti yang dilakukan oleh oknum HIPMI Lampung), tentu harus bertanggungjawab atas tindakannya.Siapa pun yang dengan sengaja membeli dan mengonsumsi ekstasi tidak bisa berlindung di balik label ‘korban’. Pasal 127 Undang-Undang tentang Narkotika sudah sangat jelas, seseorang yang sengaja mengonsumsi narkotika dapat dijatuhi hukuman penjara atau rehabilitasi. Dan yang memutuskan adalah Pengadilan, bukan BNNP. Dalam Undang-Undang Narkoba di Indonesia, tidak ada batasan jumlah narkoba yang jelas untuk membedakan antara pemakai dan pengedar. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan apakah seseorang merupakan pengedar atau pemakai, antara lain jumlah narkoba yang dimiliki, tujuan kepemilikan dan perilaku seseorang dalam melakukan trasaksi narkoba. Mestinya pernyataan para praktisi dan pakar hukumserta Guru Besar Unila menjadi pertimbangan bagi BNNP Lampung dalam menangani kasus narkoba, karena akademisi diyakini objektif dalam memberikan pandangan, berdasarkan pengetahuan yang mendalam tentang hukum dan sistem peradilan. BNNP Lampung dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang hukum dan prosedur yang berlaku, untuk selanjutnya dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan sesuai dengan hukum. Dalam menyikapi tuntutan masyarakat, BNNP Lampung tidak cukup hanya menyatakan menerima aspirasi, lalu berjanji akan melapor lebih lanjut kepada pimpinan. BNNP perlu melakukan terobosan seperti mengadakan diskusi atau konsultasi dengan para pakar hukum, bersama dengan Aliansi Anti Narkoba Lampung untuk memperoleh pandangan dan saran yang lebih mendalam tentang penanganan kasus narkoba. BNNP Lampung tidak perlu merasa gengsi atau malu untuk melakukannya, anggap saja sebagai kuliah gratis. Justru langkah tersebut dapat menunjukkan sikap yang lebih terhormat dan profesional, sebagai upaya meningkatkan kualitas penanganan kasus narkoba, sekaligus menepis dugaan adanya kasus suap yang terlanjur menggelinding secara liar. Publik menilai persoalan ini terlalu serius dan tidak cukup hanya ditanggapi dengan janji administratif. Jujur diakui, awalnya publik sempat terkagum-kagum dan mengapresiasi atas keberanian BNNP Lampung melakukan penggerebekan dan penangkapan terhadap 10 orang yang sedang pesta narkoba. Lebih kagum lagi, 5 orang diantaranya merupakan pengurus teras HIPMI Lampung dan pengusaha muda yang tajir-tajir dan ada ‘orang gerot’ dibelakangnya. Tapi dalam hitungan hari, kekaguman publik berubah kecewa oleh keputusan BNNP Lampung yang melunakkan perkara dengan melepas tangkapannya untuk direhabilitasi dan rawat jalan. BNNP menilai, mereka yang mengonsumsi ekstasi hanya sebagai ‘korban’, dan target BNNP selanjutnya adalah mengejar pengedar. Muncul pertanyaan besar, ada apa dibalik semua ini, dan mereka korban dari siapa? Bukankah mereka dengan sengaja datang ke tempat karaoke dan membeli 20 butir dari seseorang, lalu secara bersama-sama para wanita PL mengonsumsi ekstasi itu. Logika sederhana, jika seseorang sengaja membeli ekstasi dan mengonsumsinya, berarti mereka memang sudah berniat untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, dan tentu tidak dapat dianggap sebagai korban. Bisa disebut korban,apabila seseorang dirayu, diiming-imingi dan dipaksa melakukannya. Terkait dengan barang haram yang dibeli dari seseorang yang namanya sudah ada, mestinya ini menjadi petunjuk bagi BNNP Lampung untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Diyakini, antara pembeli dengan pengedar sudah saling kenal dan memiliki hubungan yang dekat sebelum melakukan transaksi. Tanpa saling mengenal, mustahil akanterjadi transaksi, karena dalam transaksi narkoba, kepercayaan dan saling mengenal menjadi kunci penting untuk meminimalkan resiko ditangkap, dan untuk memastikan kelancaran transaksi. Yang namanya transaksi narkoba tentumelibatkan jaringan yang lebih kompleks dan rahasia.Berbeda dengan transaksi barang legal yang dapat dilakukan secara terbuka, bahkan bisa di obral di tempat umum. Maka seharusnya BNNP Lampung tidak buru-buru melepas para pengguna narkoba, guna untuk pengembangan penyelidikan dan penyidikan. Sekali lagi, ini bukan hanya soal prosedur, tapi juga soal intergritas penegakan hukum. Mencermati sikap BNNP Lampung dalam menyikapi tuntutan Aliansi Anti Narkoba Provinsi Lampung, rasanya tidak bisa terlalu berharap BNNP Lampung akan meninjau kembali keputusanya. Maka sudah tepat jika Aliansi Anti Narkoba Lampung akan meminta Propam Mabes Polri untukmemeriksa kasus yang ditangani BNPP Lampung ini demi tegaknya lembaga hukum dalam menjaga keadilan. Hukum wajib ditegakkan dan masa depan generasi muda wajib diselamatkan. Tidak ada kata menyerah melawan narkoba.
*) Pengamat kebijakan publik dari PUSKAP (Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan) Wilayah Lampung.
