Menu

Mode Gelap
Irjen Agus Suryonugroho: Bhayangkara Presisi Lampung FC untuk Membangun Karakter Generasi Muda Kericuhan di Final Piala AFF U-23 2025:22 Suporter Diamankan ASEAN Diharapkan Bersatu dalam Menghadapi Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja Proyek EWS BPBD Lampung Diduga Fiktif, Praktisi Hukum Masuk Ranah Tipikor Kisah Ketimus: Manisnya Singkong Dalam Balutan Daun Pisang Sekolah Rakyat, Pendidikan Alternatif dari Akar Rumput

Olahraga

Kritik Rangkap Jabatan di KONI Lampung Antara Etika Organisasi dan Manuver Politikus Olahraga yang Tersingkir

badge-check


					Kritik Rangkap Jabatan di KONI Lampung Antara Etika Organisasi dan Manuver Politikus Olahraga yang Tersingkir Perbesar

Kritik Rangkap Jabatan di KONI Lampung Antara Etika Organisasi dan Manuver Politikus Olahraga yang Tersingkir

 

 

RayaPost.com— Bandar Lampung, keriuhan internal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Lampung kembali mencuat. Bukan soal prestasi atlet, bukan pula gebrakan program pembinaan. Yang ramai justru polemik klasik yang selalu muncul di setiap pergantian rezim soal rangkap jabatan di tubuh pengurus KONI.

Tudingan datang dari nama lama Amalsyah Tarmizi, mantan Wakil Ketua Umum I KONI Lampung era kepemimpinan Arinal Djunaidi. Ia menyebut empat pejabat dalam struktur baru KONI Lampung masa bakti 2025–2029 melanggar aturan organisasi karena merangkap jabatan di cabang olahraga (cabor) yang mereka naungi.

Tapi kritik itu, alih-alih membenahi sistem, justru membuka borok sejarah KONI itu sendiri.

Praktik Lama, Aktor Lama, Narasi Baru

Mereka yang dituding Margono Tarmudji, Riagus Ria, Yanuar Irawan, dan Saiful memang secara struktural menjabat ganda sebagai pengurus KONI dan pengurus cabor. Namun, fakta ini bukan barang baru. Justru menjadi semacam pola sistemik yang berjalan diam-diam dan dibiarkan oleh banyak aktor internal KONI selama bertahun-tahun.

Dan inilah paradoksnya saat praktik itu terjadi, Amalsyah Tarmizi adalah bagian dari kekuasaan. Ia duduk di meja yang sama, meneken dokumen yang sama, bahkan bersuara di forum-forum yang melegitimasi kepengurusan yang penuh irisan kepentingan. Kini, setelah tak lagi di dalam, ia muncul sebagai suara moral.

Mengapa dulu diam?

Jejak Rangkap Jabatan Sebuah Peta Kuasa

Data yang dihimpun dari berbagai dokumen internal KONI dan keterangan pengurus aktif membenarkan praktik ini telah berlangsung setidaknya tiga periode terakhir
• Masa Arinal Djunaidi (2023–2027):
• Budi Darmawan Sekum KONI + Ketum Pergatsi
• Irham Djafar Lan Putra Waketum I + Ketum Perbakin
• Rahmat Mirzani Djausal Waketum II + Ketum PGI
• Yanuar Irawan Waketum III + Ketum Percasi
• Masa Prof. Yusuf S. Barusman (2019–2023)
• Yusuf Barusman Ketum KONI + Ketum Tarung Drajat (mundur setelah sorotan media)
• (Alm.) Hannibal Ketua Harian KONI + Ketum FORKI + Ketum KBI + Kadispora
• Frans Nurseto Waketum II + Ketum Sambo
• KONI Kota Bandar Lampung (sekarang)
• Ketua KONI Kota sekaligus menjabat Ketum Pengprov PBVSI Lampung

Dalam konteks ini, rangkap jabatan bukan sekadar kelalaian administratif. Ia adalah gejala dari budaya organisasi yang permisif terhadap konflik kepentingan.

Namun, mengapa suara kritis baru muncul ketika sebagian aktor tak lagi berada di lingkar kekuasaan?

Etika yang Selektif, Kritik yang Terlambat

Jika rangkap jabatan dianggap sebagai pelanggaran AD/ART, mengapa tak dibawa ke forum resmi seperti Musorprov atau Komisi Etik KONI? Mengapa justru diumbar di media dengan narasi seolah bersih dan tak terlibat?

Rudi Antoni, Wakil Ketua Bidang Organisasi KONI saat ini, menyebut kritik itu tak lebih dari manuver “aktor lama yang kehilangan panggung”. Ia menilai tudingan tersebut tidak hanya menyesatkan, tapi juga menjebak publik dalam logika moral palsu.

“Kalau dulu ikut menikmati sistemnya, jangan sekarang mendadak jadi pengawas moral. Kritiknya tidak tulus, hanya ingin mengganggu stabilitas organisasi yang sedang membangun ulang struktur,” ujar Rudi.

Apa yang Sebenarnya Diperebutkan?

Ini bukan semata debat soal pasal dalam AD/ART. Ini adalah perebutan kuasa di dalam organisasi olahraga, yang sayangnya sering kali lebih politis daripada teknis. Sebab, posisi dalam KONI tidak sekadar jabatan kehormatan. Ia membuka akses ke dana hibah pemerintah, pengaruh terhadap cabor, bahkan jaringan politik lokal.

Ada nama-nama yang merasa disingkirkan dari struktur. Ada kekecewaan personal yang belum selesai. Kritik soal rangkap jabatan menjadi peluru retoris untuk merusak legitimasi kepengurusan baru—tanpa benar-benar mendorong reformasi organisasi.

 

Di Mana Atlet dan Prestasi?

Yang ironis, perdebatan ini jauh dari persoalan mendesak: pembinaan atlet, minimnya fasilitas, dan mandeknya prestasi olahraga Lampung di tingkat nasional. Alih-alih fokus pada perbaikan manajemen pembinaan, energi para elite olahraga habis pada urusan struktural yang sarat kepentingan pribadi.

Ketika kursi lebih diperebutkan daripada medali, maka tak heran olahraga kita tertinggal.

Penutup Kritik yang Benar, oleh Orang yang Salah

Bisa jadi, kritik Amalsyah Tarmizi benar: rangkap jabatan memang problematik. Tapi datangnya dari orang yang dulu membiarkan, bahkan ikut melanggengkan, membuat kritik itu kehilangan kredibilitas.

KONI Lampung tak butuh manuver politik. Ia butuh transparansi, akuntabilitas, dan semangat kolektif membenahi organisasi. Bukan perang narasi antara mereka yang kalah dan mereka yang kini memegang palu.

Apa Komentar Anda?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Pengprov POBSI Tidak Akui Musyawarah Pengkot POBSI Bandar Lampung

11 Juli 2025 - 11:23 WIB

Trending di Olahraga