Sekolah Rakyat, Pendidikan Alternatif dari Akar Rumput
RayaPost.com— Teluk Betung, di tengah gempuran komersialisasi pendidikan formal, istilah “sekolah rakyat” kembali menggeliat. Ia hadir bukan sebagai kompetitor lembaga resmi, melainkan sebagai koreksi atas sistem yang dianggap makin menjauh dari denyut nadi masyarakat kecil. Bukan sekadar bangunan reyot di sudut gang sempit, sekolah rakyat adalah simbol keberanian untuk mendidik di luar garis negara.
Warisan Lama, Relevansi Baru
Istilah sekolah rakyat sudah berusia hampir satu abad. Ki Hadjar Dewantara mendirikannya dalam bentuk Taman Siswa, Tan Malaka melanjutkan dalam bentuk Sekolah Rakyat Merdeka. Tapi semangatnya tak pernah padam memberikan pendidikan yang bebas dari belenggu status sosial dan ekonomi.
Kini, sekolah rakyat menjelma menjadi ruang-ruang belajar alternatif. Di kolong jembatan, di rumah relawan, di ujung kampung-kampung nelayan. Di sinilah anak-anak pemulung, buruh lepas, hingga anak jalanan mengecap ilmu tanpa dihadapkan pada formulir pendaftaran atau uang pangkal.
“Sekolah rakyat bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang membebaskan,” kata Sumarni, pengajar sukarela di Sekolah Rakyat Ciliwung, Jakarta. Ia sudah delapan tahun mendidik anak-anak dari keluarga prasejahtera, tanpa dibayar sepeser pun.
Tanggapan Para Pakar Pendidikan
Kehadiran sekolah rakyat bukan sekadar alternatif, tapi cermin dari apa yang gagal dicapai sistem pendidikan nasional. Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd., pakar pendidikan dan anggota Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menyebut sekolah rakyat sebagai “koreksi moral terhadap sistem pendidikan yang makin elitis.”
“Kurikulum kita terlalu sentralistik. Banyak sekolah formal tak bisa menjawab kebutuhan sosial kultural lokal. Sekolah rakyat mengisi kekosongan itu dengan fleksibilitas dan empati,” kata Prof. Arief.
Senada dengan itu, Dr. Indra Charismiadji, pengamat pendidikan independen, menilai bahwa sekolah rakyat adalah bentuk nyata “inovasi sosial berbasis komunitas.”
“Mereka bukan hanya tempat belajar, tapi ruang pemberdayaan. Sistem pendidikan kita terlalu rigid, sementara dunia anak-anak terus berubah. Sekolah rakyat lebih cepat beradaptasi,” ujarnya.
Namun, Indra juga menggaris bawahi bahwa negara belum sepenuhnya berpihak.
“Sampai hari ini, negara belum punya payung hukum yang kuat untuk mendukung atau sekadar mengakui keberadaan mereka secara formal. Itu ironi,” lanjutnya.
Menjadi Bayang-Bayang, Padahal Menjawab Kebutuhan
Menurut data Badan Pusat Statistik 2024, masih ada 4,2 juta anak usia sekolah di Indonesia yang belum terlayani oleh pendidikan formal. Sebagian besar berada di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) atau kawasan urban miskin. Sekolah rakyat hadir di celah yang tak tersentuh itu.
Namun, karena tidak berada dalam skema formal negara, lulusan sekolah rakyat kerap kesulitan mengakses ujian nasional atau pendidikan lanjutan. Mereka seperti hidup di ruang abu-abu nyata, tapi tak diakui.
Dr. Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyebut bahwa negara perlu membuka mata terhadap realitas ini.
“Kalau kita serius dengan prinsip pendidikan inklusif, maka sekolah-sekolah rakyat harus dilihat sebagai mitra. Bukan sebagai bentuk ‘liar’ dari sistem yang tidak sah. Mereka perlu jembatan, bukan batas,” ujarnya dalam diskusi publik awal tahun ini.
Harapan dan Tanggung Jawab
Masyarakat sipil sudah membuktikan bahwa mereka bisa membangun sistem pendidikan yang hidup dan bernapas bersama realitas sosial. Yang kini dibutuhkan adalah keberanian negara untuk merangkul, bukan membungkam.
Sekolah rakyat adalah pengingat bahwa pendidikan tidak harus mahal, tidak harus berseragam, dan tidak harus berijazah. Ia harus membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan. Jika negara gagal memahami itu, maka rakyat akan terus menciptakan sekolah mereka sendiri dari rakyat, oleh rakyat, untuk masa depan.