RayaPost.com – Bandar Lampung, proyek pengadaan sistem peringatan dini bencana (Early Warning System/EWS) di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung tahun anggaran 2024 kini tengah disorot.
Proyek bernilai miliaran rupiah itu diduga sarat kejanggalan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menguak dugaan pekerjaan fiktif.
Sebagian anggaran memang telah dikembalikan, tetapi persoalannya tak serta-merta selesai. Justru ini membuka ruang baru dugaan tindak pidana korupsi.
Praktisi hukum sekaligus akademisi Universitas Tulang Bawang, Dr. Topan Indra Karsa, S.H., M.H., menyebut kasus ini bukan sekadar kesalahan administratif. “Jika benar ada pekerjaan fiktif, maka itu sudah masuk dalam kategori korupsi.
Pengembalian uang negara tidak menghapus unsur pidananya,” ujar Topan saat diwawancarai, Jumat, 25 Juli 2025.
Topan menjelaskan, pekerjaan fiktif berarti ada pencatatan administrasi seolah-olah kegiatan telah dilakukan, padahal barang atau jasanya tidak pernah ada.
“Secara hukum, itu memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum. Ini masuk dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” katanya.
Ancaman hukuman tak main-main: minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, ditambah denda hingga Rp1 miliar. Ia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah menegaskan, pengembalian uang negara tidak menghapus unsur tindak pidana, hanya menjadi faktor meringankan di pengadilan.
“Kalau benar proyek EWS ini fiktif total, itu artinya kita bicara pemalsuan dokumen, laporan palsu, dan rekayasa pengadaan. Itu bukan lagi dugaan, tapi sudah mendekati konstruksi delik,” tegas Topan.
Jejak Kasus Lama dan Bayang-Bayang Pengulangan
Pernyataan senada datang dari Ketua LSM Pro Rakyat, Aqrobin A.M., yang menyebut temuan ini tak boleh dianggap enteng. “Kami sudah turun ke lapangan. Proyek diklaim memasang 63 unit EWS. Tapi realitasnya, yang tampak hanya empat unit. Lalu ke mana sisanya?” tanya Aqrobin retoris, didampingi Sekretarisnya, Johan Alamsyah, S.E.
Menurut mereka, pola ini mirip dengan kasus lama di salah satu dinas provinsi pada 2016, yang berujung vonis lima tahun penjara bagi pejabat dan rekanan akibat pengadaan fiktif. “Jangan-jangan sejarah korupsi sedang diulang di BPBD Lampung,” kata Johan.
Ia menegaskan, fakta bahwa barang tidak ditemukan di lapangan memperkuat dugaan fiktif. “Ini bukan sekadar keteledoran atau salah hitung. Kalau anggaran sudah cair tapi barang tidak ada, itu artinya uang negara menguap untuk sesuatu yang tak pernah eksis. Ini indikasi kuat kejahatan korupsi,” ujarnya.
Aqrobin juga menyinggung soal pengembalian anggaran oleh pihak rekanan. “Itu bukan pembenaran. Kalau uang hasil maling dikembalikan, apa lantas malingnya bebas? Hukum tak bekerja seperti itu,” sindirnya tajam.
Desakan Aksi Tegas terhadap APH
LSM Pro Rakyat berencana melaporkan temuan ini secara resmi ke aparat penegak hukum. Mereka mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung untuk tak tinggal diam. “Seperti Kejari Pringsewu, Lampung Selatan, hingga Way Kanan yang berani mengungkap kasus serupa, kami dorong Kejati bertindak. Jangan tebang pilih,” tandas Johan.
Mereka juga mendesak agar pihak-pihak yang disebut dalam laporan BPK segera dipanggil untuk dimintai keterangan. “Jangan tunggu viral. Kalau data dan dokumen sudah cukup, saatnya bertindak,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, BPBD Provinsi Lampung dan pihak rekanan proyek belum memberikan tanggapan atas temuan ini. Redaksi masih berupaya menghubungi pejabat terkait untuk konfirmasi dan klarifikasi lebih lanjut. ***