Aset Nurhadi Disita KPK Dari Balik Jeruji, Jejak Harta Harus Dipertanggungjawabkan
RayaPost.com— Jakarta, Nurhadi baru saja keluar dari penjara ketika tangan KPK kembali mencengkeramnya. Mantan Sekretaris Mahkamah Agung yang pernah menjadi simbol korupsi di tubuh lembaga peradilan itu, belum sempat menikmati angin bebas. Hanya berselang beberapa waktu setelah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Nurhadi kembali ditahan kali ini untuk mempertanggungjawabkan jejak uang haram yang telah ia cuci menjadi deretan aset mewah.
Komisi Pemberantasan Korupsi resmi menjerat Nurhadi dengan sangkaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tidak hanya memburu pelaku, kali ini KPK membongkar hasil kejahatan satu per satu aset milik Nurhadi mulai disita. Dari apartemen bernilai tinggi hingga lahan sawit luas yang tersebar di sejumlah daerah.
“Penyitaan aset ini bukan sekadar simbol. Ini langkah serius kami untuk menelusuri dan merebut kembali uang negara yang dicuci lewat properti dan aset lainnya,” kata Juru Bicara KPK, Budi Setiawan, Selasa (1/7).
Langkah penyitaan ini dilakukan setelah KPK mengantongi cukup bukti bahwa Nurhadi tidak hanya menerima suap, tapi juga menyamarkan hasilnya dalam bentuk aset legal praktik khas pencucian uang. Menurut KPK, tindakan ini merupakan kelanjutan dari vonis sebelumnya, saat Nurhadi dijatuhi hukuman enam tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung.
Total uang haram yang pernah diterima Nurhadi mencapai Rp49,5 miliar. Rinciannya, Rp35,7 miliar berasal dari Hiendra Soenjoto bos PT Multicon Indrajaya Terminal untuk mengatur dua perkara hukum. Sisanya, Rp13,7 miliar, mengalir dari berbagai pihak yang sedang bersengketa hukum, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga peninjauan kembali.
Kini, KPK mendalami bagaimana uang tersebut diubah menjadi aset. Apartemen, tanah, lahan perkebunan—semuanya menjadi objek penyitaan.
“Ini bagian dari strategi asset recovery. Kami tidak mau pelaku korupsi hanya dipenjara, sementara hasil kejahatannya tetap dinikmati atau diwariskan,” lanjut Budi.
Langkah KPK ini juga menjawab kritik publik yang menilai penanganan kasus besar kerap berhenti pada pemidanaan, bukan pemiskinan. Nurhadi adalah figur penting dalam kasus ini, bukan hanya karena jabatannya, tapi karena caranya memanfaatkan sistem untuk memperkaya diri.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menyebut pendekatan KPK sudah tepat. “Tanpa penyitaan aset, hukuman tidak akan menimbulkan efek jera. Para koruptor bisa saja menikmati hasil kejahatan begitu keluar penjara,” ujarnya.
Senada dengan itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai langkah ini patut diapresiasi. Namun, KPK tak boleh berhenti pada Nurhadi. “Cek aliran dana. Telusuri siapa saja yang terlibat dalam proses pencucian uang. Jangan-jangan ada peran bank, notaris, atau pihak lain yang ikut memfasilitasi,” katanya.
Bagi KPK, kasus Nurhadi bukan hanya soal seorang pejabat korup. Ini tentang membersihkan lembaga peradilan dari penyakit kronis yang membuat hukum tumpul ke atas. Dari balik jeruji, jejak-jejak harta Nurhadi kini satu per satu dibongkar. Dan negara tampaknya belum selesai menagih utang keadilan itu.