DPR Tahan Surat Pemakzulan Gibran Antara Hati-hati dan Takut Kekuasaan
RayaPost.com —Jakarta, Surat dari Forum Purnawirawan TNI yang meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka hingga kini belum dibacakan di sidang paripurna.
Padahal, surat resmi dengan nomor 003/FPPTNI/V/2025 itu telah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR sejak akhir Mei 2025.
Ketua DPR Puan Maharani tidak menyinggung surat tersebut dalam sidang paripurna terakhir. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut surat belum bisa diproses karena belum secara resmi diserahkan kepada pimpinan DPR.
“Kalau sudah dikirim ke pimpinan, tentu akan dibahas dalam rapat pimpinan dan Badan Musyawarah sesuai mekanisme. Itu mungkin baru akan dilakukan minggu ini atau pekan depan,” ujar Dasco, Senin (24/6/2025), di Kompleks Parlemen.
Namun, penundaan ini menuai kritik tajam. Banyak pihak menilai DPR tengah bermain aman, bahkan dinilai tengah “menimbang arah angin kekuasaan”.
Seruan Purnawirawan Gibran Tak Layak
Dalam suratnya, Forum Purnawirawan menyatakan Gibran tidak layak menjabat sebagai wakil presiden karena:
Tidak memenuhi syarat usia minimal 40 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) mengubahnya secara kontroversial.
Terlibat secara tidak langsung dalam konflik kepentingan saat putusan MK dikeluarkan—di mana pamannya, Anwar Usman, menjadi Ketua MK saat itu.
Diduga terhubung dengan sejumlah aktor yang tengah tersangkut kasus pidana dan dugaan korupsi, meski belum terbukti secara hukum.
Proses Pemakzulan Menurut Konstitusi
Menurut Pasal 7B UUD 1945, pemakzulan presiden dan wakil presiden hanya bisa dilakukan atas dugaan pelanggaran hukum seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.
Prosedurnya adalah:
1. DPR mengajukan usulan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi.
2. MK menguji apakah syarat pelanggaran berat terpenuhi.
3. Jika MK menyatakan syarat terpenuhi, DPR menyampaikan hasil itu ke MPR.
4. MPR melakukan sidang untuk memutuskan pemberhentian.
Namun, hingga kini, DPR belum menunjukkan tanda-tanda ke arah itu.
Pengamat mengatakan, DPR kian kehilangan fungsi kontrol analis politik dari LIPI, M. Daryono, menyebut penundaan ini sebagai bentuk kompromi politik yang berbahaya.
“DPR seharusnya memproses aspirasi publik, apalagi yang datang dari purnawirawan TNI. Ini bukan sekadar surat, tapi peringatan etis terhadap proses demokrasi yang dianggap cacat,” ujar Daryono.
Ia menilai DPR kini berada di persimpangan antara menjalankan fungsi pengawasan atau tetap menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.
“Kalau terus menunda, DPR hanya memperkuat dugaan publik bahwa parlemen hari ini bukan lagi lembaga pengimbang kekuasaan, tapi justru bagian dari oligarki baru yang terhubung langsung dengan dinasti politik,” imbuhnya.
Masalah Legitimasi dan Kepercayaan Publik
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menambahkan bahwa absennya respons DPR bisa berdampak pada legitimasi lembaga negara secara luas.
“Surat pemakzulan ini tidak harus langsung disetujui, tapi harus dibahas secara terbuka. Transparansi itu penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Jika ditutup-tutupi, maka yang rusak bukan hanya Gibran, tapi seluruh arsitektur politik kita,” ujar Zainal.
Ia juga menekankan, putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran telah menjadi cacat etik, bahkan diakui sendiri oleh Majelis Kehormatan MK. “Itu seharusnya menjadi dasar bagi DPR untuk setidaknya membuka pembahasan,” tegasnya.